Beyond hustler, hacker, dan hipster

Ma Isa Lombu
4 min readAug 22, 2019

--

Memiliki kehidupan yang lebih baik tentu menjadi impian setiap orang. Salah satu indikator untuk memiliki kehidupan yang lebih baik adalah dengan memiliki kondisi finansial yang baik. Lebih baik dari waktu ke waktu. Continuous improving. Baik untuk diri sendiri, ataupun ketika kita “dinobatkan” sebagai startup founder yang sedang happening ini.

Apalagi, sebagai seorang muslim, saya juga meyakini sekali bahwa agama ini sangat meng-endorse umatnya untuk hidup sejahtera. Hal ini ditunjukan dengan hadis di bawah ini.

“Dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.’”

Hadis ini muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri (no. 1427) dan Muslim no.1053 (124)

Menariknya adalah, menjadi pribadi yang sejahtera dari waktu ke waktu tentu bukanlah persoalan yang mudah. Cara yang paling sering dilakukan adalah menjadi seorang investor, atau value creator.

Menjadi seorang investor, biasanya membutuhkan capital yang “cukup”. Karena tidak setiap orang memiliki kapasitas capital yang “cukup” tersebut, maka menjadi seorang investor merupakan sebuah kemewahan untuk sebagian orang. Sedangkan, menjadi seorang value creator, secara relatif dapat dilakukan oleh siapapun. Ya siapapun yang dapat melakukan value creation.

Proses value creation ini dapat dilakukan beberapa cara dengan cara, di antaranya adalah dengan cara bekerja, mengajar dan/atau menjadi seorang entrepreneur.

Dari ketiga profesi tersebut, (sepertinya) menjadi seorang entrepreneur adalah cara yang paling efektif untuk menjadi sejahtera. Mengapa? Karena dengan menjadi seorang entrepreneur, seseorang akan hidup dengan risiko. Apa hubungannya? Jelas, semakin tinggi risiko kita dalam mengerjakan sesuatu, maka semakin besar return yang kita akan terima. High risk, high return, istilahnya.

Bukalapak punya contoh yang menarik, dimana ada seorang pelapaknya yang hanya dengan modal 300 ribu rupiah (saja) dan dalam tempo 2 tahun, seorang ibu rumah tangga bisa berbisnis dari rumah dengan omset 300 sampai 400 juta per bulannya.

Selengkapnya kita bisa lihat di video ini:

Lalu apa hubungannya menjadi seorang entrepreneur dan value creator?

Mudahnya, dengan menjadi entrepreneur, para pengusaha akan melakukan sebuah proses value creation dengan membuat produk/melakukan sesuatu yang bernilai untuk orang lain. Sebuah produk yang kehadirannya dapat menyelesaikan sebuah permasalahan spesifik tertentu untuk sebagian segmen pasar tertentu.

Nah, nilai yang tercipta lewat perantara produk ciptaan sang entrepreneur tersebut akan dikompensasi dengan sejumlah uang tertentu yang dibayarkan oleh segmen pasar yang menerimanya. Uang yang diterima oleh seorang entrepreneur itulah yang kita kenal dengan sebutan pendapatan (revenue).

Di sisi lain, wadah bisnis atas sebuah proses value creation yang dilakukan oleh seorang entrepreneur inilah yang kita kenal dengan nama perusahaan.

Liku Menjadi Pendiri

Sayangnya untuk membangun sebuah perusahaan tidak semudah membalik telapak tangan. Semakin besar ukuran perusahaan atau semakin besar aset yang dikelola, semakin sulit mengelolanya.

Perlu diketahui bahwa banyak sekali persoalan yang akan terjadi kala seseorang memutuskan untuk mendirikan dan mengelola perusahaan. Beberapa persoalan yang akan dihadapi adalah mulai dari membuat produk yang benar-benar dibutuhkan oleh target market (product-market fit), menghadapi tingkat kompetisi yang semakin ketat, menerima kenyataan bahwa competitors memiliki strategi yang lebih efektif dan efisien, memastikan rencana yang sudah dibuat berjalan dengan baik, mengatur cash flow agar tidak bleeding kala uang investor tidak kunjug hadir, memilih dan mengevalusi para pekerja, sampai kepada memutuskan kapan harus ekspansi kapan tidak, adalah beberapa hal yang pasti dihadapi oleh seorang value creator (baca: pengusaha).

Sejatinya, kesemua persoalan yang saya sebutkan di atas merupakan hal-hal yang dapat diselesaikan melalui kebijakan pengelolaan keuangan (financial decision) yang baik. Beberapa hal yang dapat dihasilkan lewat pengelolaan keuangan adalah:

1. Kapan dan bagaimana launch produk baru;

2. Memutuskan mana yang lebih baik, mengalokasikan keuntungan bersih (net profit) yang dimiliki untuk langsung dibagikan kepada para pemegang saham (shareholders) atau memutarnya kembali (retained earning) untuk membeli aset baru;

3. Ketika perusahaan memutuskan untuk melakukan ekspansi, memutuskan kebijakan mana yang lebih efektif untuk dapat bertumbuh dengan baik dengan cara yang proper; Apakah dengan menggunakan laba ditahan (retained earning), menerbitkan surat hutang, menjual saham baru, atau meminjam ke bank;

4. Mengatur cashflow agar kegiatan operasional perusahaan dapat berlangsung dengan baik; dan

5. lain-lain.

Intinya, saya ingin katakan bahwa pada dasarnya keputusan perusahaan (apapun itu) harus didasari dengan pertimbangan finansial yang baik. Sebuah pertimbangan finansial yang baik akan menghasilkan keputusan perusahaan yang baik pula. Sebaliknya, perusahaan (terlebih lagi perusahaan rintisan) yang tidak dapat melakukan/memutuskan sesuatu berdasarkan pertimbangan finansial yang baik, maka akan memiliki potensi gulung tikar di usia mudanya.

Akhirnya, saya memiliki keyakinan bahwa terdapat korelasi positif yang kuat antara pengelolaan keuangan (financial management) yang baik dengan kesuksesan sebuah perusahaan. Maka untuk itulah saya kembali katakan bahwa mengatur keuangan (financial management) itu penting untuk dilakukan oleh seorang value creator, terlebih lagi oleh seorang startup founders yang perusahaan rintisannya tersebut masih butuh banyak “belajar”.

Maka menjadi sebuah keniscayaan seorang startup founders memiliki kemampuan untuk melakukan perencanaan (planning), mengelola (organizing), mengeksekusi (actuating) dan mengevaluasi (evaluating) segala resources keuangan yang dimiliki oleh perusahaan. Skill yang yang selama ini kita kenal dengan istilah manajemen keuangan, sebuah kemampuan, atau fungsi bisnis yang seharusnya (juga) dimiliki oleh para startup founders, tidak sesederhana menjadi hustler (marketer), hacker (IT Guy), atau hipster (designer).

Tiga karakter utama yang sering didengungkan para mentors pada setiap perhelatan inkubasi startup tanah air.

Mereka (sepertinya) keliru, harusnya, beyond itu!

--

--

Ma Isa Lombu
Ma Isa Lombu

No responses yet